TEMPO.CO, Jakarta - Meski laris dibeli pelanggan, Sartini, pemilik warteg di Tebet, Jakarta, terpaksa mengurangi menu tahu dan tempe di warungnya. Pasalnya, harga dua makanan itu mulai pekan ini naik lantaran melambungnya harga kedelai yang dibeli para pengrajin tahu tempe.
“Mau tidak mau ya kurangin belinya. Kalau terlalu mahal, mungkin enggak beli. Takut malah rugi,” ujar Sartini, Ahad, 3 Januari 2021.
Lonjakan harga tahu dan tempe di tingkat konsumen merupakan buntut mahalnya kedelai sebagai bahan baku panganan tersebut. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mencatat harga kedelai impor pada November 2020 masih di angka Rp 9.000 per kilogram. Adapun pada Desember 2020 harganya sudah 9.300 hingga Rp 9.600 per kilogram. Terjadi kenaikan bervariasi di kisaran 3,3 persen hingga 6,6 persen karena ada yang membeli melalui koperasi ada juga yang langsung ke distributor.
Sejumlah pengusaha tahu dan tempe di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pun sempat mogok produksi sejak 31 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021. Para pengrajin tahu dan tempe itu mogok produksi dengan harapan pemerintah mendengar keluhan sehingga mengeluarkan kebijakan agar harga kedelai bisa kembali normal. Akibat aksi mogok itu, tahu dan tempe sempat langka di pasar.
Sejak awal pekan ini, tahu dan tempe kembali beredar di pasar. Namun, harganya naik. Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan para pengusaha diberi kebebasan untuk menentukan kenaikan harga sesuai wilayah masing-masing.
"Rata-rata naik sebesar 20 persen. Mulai besok (Senin) tahu dan tempe sudah harga baru," kata Aip kepada Tempo, 3 Januari 2020.
Dia mencontohkan, jika biasanya harga tempe sekitar Rp 11-12 ribu per kilogram, maka dengan harga baru bisa mencapai Rp 15 ribu. Keputusan kenaikan harga ini diperlukan untuk menutup ongkos produksi.